Tidak perlu tertegun atau terganggu
dengan polemik tentang masuknya musik pop ke dalam liturgi (Fr Giom Bastion Was
OCSO, ”Musik Liturgi Demi Orang Muda”, HIDUP No. 22, 27 Mei 2012, hal. 9).
Sudah lama, orang mempersoalkan hal ini: pro dan kontra musik liturgi.
Pusat Musik Liturgi (PML) di Yogyakarta pernah mencatat tiga pendapat. Pendapat pertama cenderung menerima lagu pop rohani agar tidak dicap kolot dan kurang peka pada selera zaman. Tapi, pendapat kedua menolak lagu pop, karena jika tidak, maka Musik Gereja akan merosot, makin kurang bermutu dan kehilangan daya membentuk manusia. Pendapat ketiga cenderung kompromistis. Mereka berpendapat, lebih baik menciptakan lagu pop rohani bermutu yang dapat dipakai sebagai sarana pendidikan iman di luar liturgi.
Setiap pendapat tentu harus memperlihatkan argumen teologis-liturgis. Karena bagaimanapun pula, seorang pemusik Gereja harus mampu membedakan lagu profan dan lagu sakral, lagu rohani dan lagu liturgi. Banyak musisi Gereja menilai musik dan lagu rohani pop dangkal teologinya. Syairnya egosentris dan musiknya bermutu rendah (lih. Karl-Edmund Prier SJ dan Paul Widyawan. 2011. Roda Musik Liturgi. Yogyakarta: PML, hal 29-35). Sebaliknya, musik dan nyanyian liturgi harus berdaya mengubah manusia. Tuhan adalah daya itu. Bahkan Tuhan sendiri adalah musik.
”Kembali kepada masalah orang membawa lagu pop ke dalam Gereja, nampaknya karena mereka ingin berperan sebagai ‘vocal group’ atau artis yang memperlakukan umat sebagai pendengar atau dengan lain kata sesungguhnya ada keinginan dari penyanyi-penyanyi Gereja untuk mencicipi peran atau posisi penyanyi hiburan dengan mempersilahkan umat di gereja sebagai pendengar yang mau tidak mau. Biasanya saat komuni dipakai untuk menampilkan diri. Apakah pemasangan teks rohani pada lagu pop sudah bisa dikatakan mensucikan lagu pop? Mungkin jawabannya lebih tepat usaha tersebut malah menurunkan arti teks rohani tersebut, karena melodi pada ekspose pertama sudah dipersembahkan pada dunia hiburan dan Tuhan diberi sisanya” (Karl-Edmund Prier SJ dan Paul Widyawan, 2011:78).
Paus Benediktus XVI pun mempertimbangkan musik dan lagu pop masuk ke dalam liturgi. Tapi, Paus mengingatkan, musik dan lagu Gereja adalah Umat Allah yang bernyanyi menyatakan identitas. Musik Gereja bukan sekadar demi kepentingan seni, tapi ungkapan pujian kepada Tuhan. Maka, hendaknya dihindari musik dangkal masuk dalam perayaan liturgis dan jangan menciptakan musik liturgi demi kepentingan pragmatisme pastoral. Kita tidak seenaknya memasukkan musik dan lagu pop ke dalam perayaan liturgi, terutama perayaan Ekaristi. Kelonggaran boleh ditolerir untuk ibadat di luar liturgi.
Sementara itu masalah inkulturasi tidak semudah membalik telapak tangan. Walaupun orang merasa puas dengan nyanyian rohani pop, tetapi asing dari Kitab Suci dan Gereja, maka strukturnya tetap kafir. Kita tidak sekadar mengambil lagu pop lalu diberi teks saleh Katolik. Tetapi dari lagu pop, kita ambil motif, gaya, dan ritmiknya, lalu kita menggubah lagu Gerejawi yang orisional. Inilah tantangan berat bagi komponis Gereja.
Menciptakan lagu inkulturatif adalah karya kreatif, membutuhkan ketekunan dan studi yang mendalam. Kita bukan Mozart, César Franck, Franz Schubert, atau Felix Mendelssohn. Dalam menciptakan lagu inkulturatif, kita perlu memperhatikan asosiasi. Dalam Kongres Musik Liturgi Indonesia I, sudah diingatkan oleh P. Frans Harjawiyata OSCO, ”Dapat terjadi bahwa musik yang sebenarnya indah menimbulkan asosiasi yang tidak cocok, misalnya jika musik itu kerap diperdengarkan di tempat-tempat hiburan yang murah. Dapat dimengerti bahwa hal ini dapat menimbulkan banyak kesulitan praktis. Memang, tentang perasaan orang tidak bisa berdebat” (Spektrum, No. 2, Th VI, 1976, hal 26).
Jacobus Tarigan
Penulis adalah Dosen Luar Biasa Matakuliah Liturgika STF Driyarkara Jakarta
Pusat Musik Liturgi (PML) di Yogyakarta pernah mencatat tiga pendapat. Pendapat pertama cenderung menerima lagu pop rohani agar tidak dicap kolot dan kurang peka pada selera zaman. Tapi, pendapat kedua menolak lagu pop, karena jika tidak, maka Musik Gereja akan merosot, makin kurang bermutu dan kehilangan daya membentuk manusia. Pendapat ketiga cenderung kompromistis. Mereka berpendapat, lebih baik menciptakan lagu pop rohani bermutu yang dapat dipakai sebagai sarana pendidikan iman di luar liturgi.
Setiap pendapat tentu harus memperlihatkan argumen teologis-liturgis. Karena bagaimanapun pula, seorang pemusik Gereja harus mampu membedakan lagu profan dan lagu sakral, lagu rohani dan lagu liturgi. Banyak musisi Gereja menilai musik dan lagu rohani pop dangkal teologinya. Syairnya egosentris dan musiknya bermutu rendah (lih. Karl-Edmund Prier SJ dan Paul Widyawan. 2011. Roda Musik Liturgi. Yogyakarta: PML, hal 29-35). Sebaliknya, musik dan nyanyian liturgi harus berdaya mengubah manusia. Tuhan adalah daya itu. Bahkan Tuhan sendiri adalah musik.
”Kembali kepada masalah orang membawa lagu pop ke dalam Gereja, nampaknya karena mereka ingin berperan sebagai ‘vocal group’ atau artis yang memperlakukan umat sebagai pendengar atau dengan lain kata sesungguhnya ada keinginan dari penyanyi-penyanyi Gereja untuk mencicipi peran atau posisi penyanyi hiburan dengan mempersilahkan umat di gereja sebagai pendengar yang mau tidak mau. Biasanya saat komuni dipakai untuk menampilkan diri. Apakah pemasangan teks rohani pada lagu pop sudah bisa dikatakan mensucikan lagu pop? Mungkin jawabannya lebih tepat usaha tersebut malah menurunkan arti teks rohani tersebut, karena melodi pada ekspose pertama sudah dipersembahkan pada dunia hiburan dan Tuhan diberi sisanya” (Karl-Edmund Prier SJ dan Paul Widyawan, 2011:78).
Paus Benediktus XVI pun mempertimbangkan musik dan lagu pop masuk ke dalam liturgi. Tapi, Paus mengingatkan, musik dan lagu Gereja adalah Umat Allah yang bernyanyi menyatakan identitas. Musik Gereja bukan sekadar demi kepentingan seni, tapi ungkapan pujian kepada Tuhan. Maka, hendaknya dihindari musik dangkal masuk dalam perayaan liturgis dan jangan menciptakan musik liturgi demi kepentingan pragmatisme pastoral. Kita tidak seenaknya memasukkan musik dan lagu pop ke dalam perayaan liturgi, terutama perayaan Ekaristi. Kelonggaran boleh ditolerir untuk ibadat di luar liturgi.
Sementara itu masalah inkulturasi tidak semudah membalik telapak tangan. Walaupun orang merasa puas dengan nyanyian rohani pop, tetapi asing dari Kitab Suci dan Gereja, maka strukturnya tetap kafir. Kita tidak sekadar mengambil lagu pop lalu diberi teks saleh Katolik. Tetapi dari lagu pop, kita ambil motif, gaya, dan ritmiknya, lalu kita menggubah lagu Gerejawi yang orisional. Inilah tantangan berat bagi komponis Gereja.
Menciptakan lagu inkulturatif adalah karya kreatif, membutuhkan ketekunan dan studi yang mendalam. Kita bukan Mozart, César Franck, Franz Schubert, atau Felix Mendelssohn. Dalam menciptakan lagu inkulturatif, kita perlu memperhatikan asosiasi. Dalam Kongres Musik Liturgi Indonesia I, sudah diingatkan oleh P. Frans Harjawiyata OSCO, ”Dapat terjadi bahwa musik yang sebenarnya indah menimbulkan asosiasi yang tidak cocok, misalnya jika musik itu kerap diperdengarkan di tempat-tempat hiburan yang murah. Dapat dimengerti bahwa hal ini dapat menimbulkan banyak kesulitan praktis. Memang, tentang perasaan orang tidak bisa berdebat” (Spektrum, No. 2, Th VI, 1976, hal 26).
Jacobus Tarigan
Penulis adalah Dosen Luar Biasa Matakuliah Liturgika STF Driyarkara Jakarta
Disadur dari Majalah HIDUP, Edisi 24, Tahun ke-66, 10 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar